Merawat Tradisi Salai, Merawat Kerukunan Warga

Tradisi memberi warna tersendiri dalam membangun keharmonisan masyarakat. Makanya, sering kali aktor-aktor penting dalam masyarakat merawat tradisi itu untuk kepentingan menjaga hubungan dalam sebuah komunitas.


Itulah yang terjadi pada tradisi salai dalam masyarakat Sambas yang hijrah ke Pontianak. Generasi perantau tahun 1990-an awal telah menetap di Jalan Usaha Bersama atau lebih di kenal Parit Waklijah. Salah satu kampung yang terdapat di desa Sungai Rengas, bagian barat Pontianak, Kalimantan Barat.
Kampung tempat migrasi orang Sambas ini memiliki suatu keunikan tersendiri. Mayoritas suku yang terdapat di kampung ini adalah suku Madura, namun mereka mampu berbahasa Melayu Sambas dengan fasih.


Di kampung ini terdapat satu gang yang merupakan masyarakat pendatang dari Sambas yang tetap mempertahankan tradisi yang dikenal dengan “Salai”.
Tradisi salai adalah salah satu tradisi masyarakat Sambas sebelum pernikahan. Bapak-bapak membaca shalawat yang diiringi oleh alat musik tahar di rumah mempelai wanita sebelum mempelai laki-laki datang dengan tujuan memohon kelancaran acara dan mendoakan keberkahan untuk kedua mempelai.


Kata “salai” dinisbatkan dari shalawat yang dibaca di dalam majelis, yaitu assalamu’alai yang terdapat dalam kitab barzanji. Kitab yang dikarang oleh syeikh Ja’far al-Barzanji. Namun, bukan hanya shalawat salai yang dibaca, shalawat lain yang terdapat di dalam barzanji juga dibaca, yaitu asyroqol badru atau dikenal dengan srakal. Kedua shalawat ini ketika dibaca, masyarakat menyebutnya salai atau salai srakal.


Pada tahun 2000, saat itu belum banyak masyarakat yang tinggal di gang ini. Hanya terdapat 5 buah rumah dengan jarak yang berjauhan. Saat itu salah satu di antara mereka ketika sedang berkumpul menyampaikan pendapatnya akan kerinduan untuk bershalawat bersama-sama. Mereka kemudian berinisiatif untuk menghidupkan kembali shalawat “salai” yang menjadi tradisi ketika di Sambas.


“Jika suatu tradisi itu memiliki banyak manfaat, tidak ada alasan untuk tidak mempertahankan. Terlebih yang di baca adalah shalawat, maka sangat pantas untuk terus dibaca dan disyiarkan,” ujar Ahmad Saturi.
Dengan anggota awal 5 orang saat itu, Ahmad Saturi, Usman, Hasyim, Asmat, Abdussalam, mereka berkumpul untuk bershalawat di rumah salah satu di antara mereka secara bergantian setiap minggunya. Alunan shalawat yang dibaca dengan diiringi oleh tahar hingga shalawat itu selesai dibaca. Antara shalawat yang dibaca dengan tahar yang dimainkan iramanya harus sesuai.


Dengan meminjam tahar yang dimiliki oleh bapak Asmat, shalawat salai dari rumah ke rumah kontinyu dilakukan setiap minggunya.
“Kami patungan 30.000 per orang untuk membeli alat tahar yang lebih lengkap,” kenang Ahmad Saturi.
Dengan uang yang terkumpul, Ahmad Saturi membeli tahar dengan harga 800.000.


Semakin banyak yang mulai tertarik dengan salai, dari anggota 5 orang hingga berjumlah 27 orang. Lengkapnya alat tahar yang dimiliki dan jumlah anggota yang sudah cukup, Ahmad Saturi kemudian membentuk grup yang diberi nama “Nurus Shobah”.


Majelis shalawat “Nurus Shobah” yang saat ini terus berkembang menghidupkan dan mengajak masyarakat untuk terus bershalawat dan mencintai nabinya melalui tradis salai. Majelis yang diketuai oleh Ahmad Saturi sudah berjalan hampir 20 tahun lamanya.


Ketika shalawat salai ini mulai dihidupkan kembali, masyarakat mulai tertarik dengan lantunan shalawat dan irama yang khas dari salai khas Sambas ini. Yang dulu hanya digunakan untuk acara walimah hingga saat ini acara aqiqah, gunting rambut, dan acara selamatan banyak yang meminta untuk membaca shalawat salai ini.


Seiring terus berkembangnya tradisi salai banyak kaum hawa khususnya ibu-ibu yang ingin ikut di grup ini.
Tahun 2004 dibentuklah grup shalawat untuk ibu-ibu yang diberi nama “Ummul Muttaqin” oleh Ahmad Saturi. Sesuai dengan arti nama itu “ibu orang-orang yang bertakwa”, harapannya semoga menjadi ibu-ibu yang bertakwa dan melahirkan anak-anak yang bertakwa pula.
Dengan dibentuknya majelis shalawat ibu-ibu. Tradisi salai terus mengalami perkembangan cukup pesat dengan banyaknya majelis-majelis taklim yang ingin belajar cara memainkan tahar dan nada-nada yang ada dalam shalawat itu.


Ahmad Saturi bersama para anggota semakin bersemangat untuk terus mengajak masyarakat bershalawat dengan adanya majelis shalawat Ummul Muttaqin. Mereka kemudian memikirkan kaum milenal saat ini yang sudah banyak tidak peduli dengan tradisi yang ada di masyarakat.
Ahmad saturi kemudian mengajak salah satu anggota Nurus Shobah yang bisa mamainkan marawis.

Bermodalkan alat marawis yang mereka pinjam, Ahmad Saturi bersama kedua temannya, Usman dan Adi mulai mempelajari cara memainkan alat itu. Cara itu mereka lakukan untuk menarik kaum milenal agar tidak melupakan tradisinya sendiri.
Hingga banyak kaum milenial yang mulai tertarik dengan alat marawis itu dan ingin ikut belajar cara memainkannya.


Maliha salah satu milenial yang tertarik dengan alat marawis yang dimainkan oleh Ahmad saturi bersama Usman dan Adi. “Saya awalnya mengintip saja dari luar ketika alat marawis itu dimainkan,” ungkapnya. Hingga ia mengajak teman-temannya untuk ikut belajar memainkan alat marawis.
Tahun 2018, Ahmad Saturi membentuk grup baru yang diberi nama “Fatayatul Iman”. Grup ini dikhususkan untuk kaum milenial.


Dengan terbentuknya kaum milenial, Ahmad Saturi kemudian membeli alat musik yang dikhususkan bagi setiap grup. Majelis bapak-bapak “Nurus Shobah” dengan alat tahar yang sudah ada, grup ibu-ibu “Ummul Muttaqin” menggunakan rebana, dan grup milenial “Fatayatul Iman” dengan alat musik marawis.


Senin malam menjadi tempat berkumpulnya semua grup yang sudah terbentuk untuk sama-sama membaca shalawat di rumah salah satu anggota secara bergantian. Jenis shalawat yang dibaca dari semua grup berbeda-beda, salai dan srakal dibawakan oleh bapak-bapak, ilahiya dibawakan oleh ibu-ibu dan al-habsyi, shalawat modern yang dibawakan oleh grup milenial. Semua grup itu dikoordinir oleh Ahmad Saturi.
“Tradisi ini telah menyatukan kami di sini,” katanya.


Itulah gambaran tradisi yang ada di kampung Parit Waklijah, yang dibawa dari Sambas, dan dikembangkan di Pontianak. Itulah gambaran salah satu tradisi dan usaha merawatnya di desa Sungai Rengas, Kalbar.

Oleh: Huzaimah Agustini

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *