Ketika Peserta Rumah Literasi Sulit Menulis, Apa yang Dilakukan?
Oleh: Yusriadi
Meskipun pertemuan Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak sudah memasuki pertemuan ke-9 tetapi masih ada saja keluhan peserta. Mereka masih mengeluh sulit dalam menulis. Sepertinya, sebagian peserta belum mencapai taraf yang diharapkan.
Menurut perkiraan, seharusnya setelah pertemuan ke-9 para peserta sudah running. Lancar melancar dalam menulis dan bersemangat dalam berkarya. Semestinya tidak ada lagi terdengar pembimbing menagih karya atau peserta yang didesak-desak agar menyetor tulisan.
Malangnya malahan masih ada saja peserta yang –saya menyebutnya–, degil bin ngeyel. Seperti saya ungkap dalam tulisan lalu, mereka masih bertanya masuk kelas pukul berapa, kelasnya di mana, karya yang harus diserahkan berbentuk apa, kapan batas waktunya, bagaimana cara membuatnya.
Jadi, tentu perkembangan terkini agak mengecewakan dan mengkhawatir. Jumlah peserta yang tercecer masih di luar ekspektasi. Saking geramnya sampai-sampai saya terpaksa nimbrung dan menjapri pembimbing kelas.
Jumat kemarin saya berkesempatan masuk ke Kelas JK Rowling. Saya mendampingi pembimbing tetap kelas.
Saya masuk kelas serasa memasuki lorong gelap. Tak ada cahaya semangat dari peserta, yang jumlahnya hanya beberapa orang saja. Sepertinya, baru sepertiga yang hadir. Sementara yang hadir sebagiannya hanya raga tanpa jiwa.
Saya memulai dengan salam yang dijawab hambar. Tapi… tak apa, kelas tetap berjalan, berapa pun yang hadir dan bagaimana pun keadaannya.
Saya mengevaluasi kegiatan sebelumnya. Memastikan siapa yang hadir dan berkarya, menemukan masalah dan akarnya. Sembari berjalan, beberapa peserta terlambat menyusul kemudian.
Tindakan pertama sebagai terapi, saya menutup pintu bagi yang terlambat lebih dari 10 menit. Disiplin adalah kata kunci dalam menulis dan bahkan dalam hidup.
Setelah itu baru kemudian memberikan pencerahan dan motivasi. Memberikan kabar gembira dan ancaman. Peserta sejauh yang teramati mencerna. Mereka “dipaksa” mengingat-ingat dan membuat renungan. Mereka diminta berjanji dan berkomitmen. Mendeklarasikan kesadaran agar menyerap ke dalam alam kesadaran. Caranya, saya meminta mereka menyebutkn beberapa manfaat yang mereka dapatkan dari kelas hari ini. Satu per satu mereka menyampaikan atau menyatakan apa manfaat yang diperoleh. Secara lisan lebih dahulu, kemudian ditulis.
Dengan cara ini evaluasi dan motivasi disisipkan. Mereka juga mendapatkan bahan untuk tulisan. Tanpa mereka sadari mereka sudah menulis karangan argumentatif, dengan cara yang sistematik.
Ketika mereka mulai menulis, ruang kelas terasa lengang. Tak ada suara terdengar. Wajah-wajah peserta terlihat cerah. Semangat terlihat dan aura positif terpancar. Lorong gelap yang beberapa menit lalu terbayang, kini berganti ruang terang bercahays. Saya meninggalkan mereka dengan lega. Dada terasa berisi kepuasan dan kenikmatan.
Dari pertemuan itu saya berkesimpulan ada peserta perlu dikembalikan ke pangkal jalan. Mereka perlu disemangati, terus menerus.
.Mereka harus diyakinkan bahwa kegiatan ini perlu dilakukan untuk mereka. Mereka perlu disadarkan bahwa kegiatan ini lebih banyak manfaatnya dibandingkan mudaratnya. Mereka harus disadarkan bahwa menulis itu mudah, mengarang itu gampang