Memaknai Hari Santri sebagai Refleksi Perjuangan dan Nilai Pendidikan
Pontianak, (fuad.iainptk.ac.id) – Pada tanggal 22 Oktober, Indonesia merayakan Hari Santri, sebuah momentum penting bagi masyarakat pesantren di seluruh negeri. Hari Santri tidak hanya menjadi peringatan sejarah, tetapi juga sarana refleksi atas kontribusi dan peran besar kaum santri dalam perjalanan bangsa. Dr. Faizal Amin, S.Ag, M.Ag, Wakil Dekan 1 FUAD IAIN Pontianak, memberikan pandangan mengenai makna Hari Santri dalam wawancaranya. Beliau mengungkapkan bahwa menjadi santri adalah sebuah berkah, dan ia tidak pernah menyesal telah melalui pendidikan di pondok pesantren.
“Saya sangat bersyukur menjadi santri, dan pengalaman itu sangat berarti bagi kehidupan saya. Saya dan istri sama-sama pernah tinggal di asrama pondok pesantren dengan segala keterbatasan, namun justru dari proses tersebut kami belajar banyak hal yang sangat berguna untuk kehidupan selanjutnya,” ujar Dr. Faizal. Ia juga menekankan pentingnya mendidik anak-anaknya dalam tradisi pesantren, karena ia meyakini nilai-nilai yang diajarkan di pesantren merupakan bekal yang sangat berharga.
Dalam pandangannya, menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu (fardu ain), dan Hari Santri memperkuat semangat untuk terus belajar dan berkembang. Di berbagai daerah di Indonesia, pesantren memiliki banyak sebutan. Di Aceh disebut “manasa” atau “dayah”, di Minangkabau disebut “surau”, dan di Palembang dikenal sebagai “madrasah diniyah” atau “madin”. Meski berbeda nama, esensi dan semangat kesantrian tetap sama: menuntut ilmu demi kehidupan yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat.
Lebih jauh, Dr. Faisal Amin memaknai Hari Santri dengan merujuk pada ajaran Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Menurutnya, seseorang dapat disebut santri tidak harus selalu tinggal di pondok pesantren. Mereka yang berkhidmat dan mengabdikan diri pada organisasi yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari juga bisa disebut sebagai santri. “Santri tidak harus mukim di asrama dan mengaji bersama. Ada banyak cara untuk menjadi santri,” ujar Dr. Faisal.
Momentum Hari Santri, menurut Dr. Faisal, juga mengingatkan kita pada semangat “Resolusi Jihad” yang pernah disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi tersebut tidak hanya tentang perjuangan fisik, tetapi juga tentang bagaimana santri harus patuh dan mengikuti ajaran serta bimbingan gurunya. “Menjadi santri bukan hanya tentang tanggal 22 Oktober, tetapi bisa kapan saja, selama kita memegang teguh ajaran dan nasihat guru serta kiai kita,” tambahnya.
Dr. Faisal menegaskan bahwa seorang santri sejati adalah mereka yang selalu mengikuti “dawuh” atau nasihat dari sang guru. Kepatuhan dan keyakinan kepada bimbingan guru adalah esensi dari menjadi santri. “Jika kita mengaku sebagai santri, maka kita harus patuh kepada guru kita. Guru adalah pembimbing, dan kita harus menjalankan perintahnya dengan sepenuh hati,” tuturnya.
Dalam penutup wawancaranya, Dr. Faisal mengajak seluruh santri dan masyarakat luas untuk tidak hanya memaknai Hari Santri sebagai peringatan semata, tetapi juga sebagai refleksi terhadap perjuangan dan pengabdian para ulama dan kiai yang telah membentuk pondasi kuat dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Hari Santri adalah pengingat bahwa pendidikan, terutama pendidikan pesantren, memiliki peran penting dalam membangun karakter bangsa.
Penulis : Asip