Bersaudara Walau Berbeda
Neneng Aryati, seorang juru uang di desa yang terpencil di mata dunia, Desa Sebirang, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalbar. Wanita paroh baya itu mempunyai empat orang anak, yang pertama, Zulimam Nurtoni, sekarang bekerja di Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Sanggau. Anak kedua, Anggraini Hartini, sekarang sudah menjadi seorang pramugari di penerbangan Garuda Indonesia, di Jakarta.
Anak ketiga, Zulyasa Gustomi, Saya sendiri, sedang berkuliah di Institut Agama Islam Negeri Pontianak. Anak terakhir, Azahra Novia Gustina, sekarang kelas enam di Sekolah Dasar Negeri 2 Ngabang, dia adalah seorang atlet karate sabuk biru.
Sudah 16 tahun lamanya ibu Neneng Aryati menetap di wilayah yang berupa ragam suku, bangsa serta agama ini. Dayak, Bugis, Melayu, Batak, Tionghoa, Jawa. Ada Islam, Katolik, Protestan, serta Konghucu. Mungkin saja masih banyak lagi, namun tak terjamah oleh mata. Semua ras, suku, agama, hidup tentram dan damai di sini. Para Pendeta dan Pastur mendera lonceng gereja, para kiyai mensyairkan sajak-sajak dari tuhan: dengan tenang.
Ibu Neneng awalnya tinggal di Pontianak, namun 16 tahun lalu memutuskan untuk pindah ke Ngabang, mengikuti suaminya. Suaminya bernama Hermanto.
Ibu Neneng sekarang hanya tinggal bersama dua orang anaknya: Tomi (anak ketiga) dan Tina (anak keempat).
Dalam rentang waktu 10 tahun ini, Ibu Neneng sudah berpindah lima rumah.
Dulunya Ia seorang guru di SDN 33 Sebirang dan sekarang Ia Kaur Keuangan. Selama tinggal di kabupaten Landak ini, Ibu Neneng belajar banyak hal tentang toleransi. Ibu Neneng berprinsip bahwa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, Ia menjunjung sebuah toleransi kemanapun Ia berada.
Ibu Neneng sekarang berdomisili di Ngabang, namun Ia masih bekerja di desa Sebirang. Di tempat Ibu Neneng bekerja, bukan hanya orang yang muslim saja yang bekerja di sana. Desa Sebirang sendiri terdapat dua suku, yaitu Dayak dan Melayu. Ibu Neneng seringkali berinteraksi dengan mereka yang berbeda suku bahkan berbeda agama.
Ibu Neneng juga pernah mengangkat dua anak yang bersukukan Dayak dan beragama Katolik. Ketika lebaran, Ia menyuruh anak-anak angkatnya bermalam di rumahnya dan merayakan lebaran di rumah. Setiap Natal, Ibu Neneng juga sering diundang oleh anak-anak angkatnya untuk Natal bersama.
Ibu Neneng mengangkat dua orang anak perempuan saat itu karena mereka sering sakit-sakitan dan meminta untuk menjadi anak angkatnya, sekitar sembilan tahun yang lalu. Ada saatnya dimana kedua anak angkat Ibu Neneng itu tinggal bersamanya.
Di rumahnya, nampak sekali keragaman, namun tidak sama sekali mengubah akidah dari keberagaman tersebut. Di dalam rumah itu, mereka saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Hubungan kekeluargaan antara Ibu Neneng dan keluarga asli dari anak angkatnya pun baik dan saling menghargai. Sekarang, kedua anak angkat Ibu Neneng sudah mempunyai rumah tangga dan Ibu Neneng juga mendapatkan cucu dari kedua anak angkatnya tersebut.
Selain itu, keluarga dari suami Ibu Neneng pun sekitar kurang lebih 45% bersuku Dayak yang notabenenya beragama Katolik dan Protestan. Saat di kampong, dulu, mereka sering mengunjungi rumah Bu Neneng ketika hari raya Islam, mereka saling bersilaturahmi. Begitu indah sekali keberagaman yang terasa di sini.
Memang sebuah keberagaman akan terasa sangat indah jika kita bisa menerima segala perbedaan dan saling hormat-menghormati. Ini kita bisa analogikan seperti sebuah gedung yang amat kokoh, jika hanya semen saja bahannya, maka tidak akan bisa berdiri, jika hanya pasir juga tidak bisa. Untuk sebuah gedung yang kokoh kita memerlukan bahan-bahan yang berbeda, saling melengkapi sehingga gedung itu akan berdiri dengan kokoh. Rendang itu nikmat bukan hanya karena daging, apalagi hanya lengkuas, kombinasi dari berbagai rempahlah yang membuat rendang itu nikmat.
Di desa Sebirang sendiri memang mereka sangat menerima perbedaan. Desa sebirang terbagi menjadi dua dusun, dusun Sebirang dan dusun Kota Baru. Dusun Sebirang ini 100% beragama Islam dan bersuku melayu, sedangkan dusun Kota Baru ini 99% beragama kristen (Katolik dan Protestan). Kedua dusun yang satu desa ini, orang-orangnya rata-rata bersaudara. Di tradisi desa Sebirang, orang Dayak yang masuk Islam itu di anggap sebagi melayu, namun mereka tetap mempunyai darah keturunan yang sama.
Memang terdapat perbedaan yang sangat jauh antara budaya tempat tinggal Ibu Neneng dahulu, sebelum tinggal di Desa Sebirang dengan sekarang, ketika sudah tinggal dan menetap di desa Sebirang. Kemampuan Ibu Neneng dalam beradaptasi dan berinteraksi yang membuatnya bisa menerima itu semua. Ibu Neneng menerima perbedaan yang sangat kontras, namun bisa diterimanya walau itu tidak mudah. Dia terpisah jauh dari keluarga sedarahnya, maka dari itu dia sangat dekat dengan saudara-saudara suaminya. Ibu Neneng menganggap saudara-saudara dari suaminya sebagai keluarganya sendiri.
Di kabupaten Landak ini memang indah sekali keberagaman yang terasa. Saya ingat sekali bahwa Saya pernah menghantar seorang tetangga Saya ke sebuah gereja di hari minggu. Saat Saya masuk, entah kenapa Saya merasa bahwa Tuhan telah menyuruh Saya untuk menegakkan panji-panji perdamaian. Senang Saya ketika disuruh menulis ini, karena selama ini Saya sangat menjunjung toleransi.
Oleh : Zulyasa Gustomi