Pandemi, Beribadah di Rumah, Fahami Konteksnya
Oleh: Dr.Ibrahim, MA
Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Pontianak
Pandemi, Ibadah Ramadhan, Konteks. Tiga istilah kata yang secara substansi sangat berbeda dan seakan-akan memang tidak ada hubungan, apalagi untuk menyatukan ketiga istilah tersebut dalam satu diskursus seperti ini. Tapi, apa sebenarnya maksud dari tiga istilah itu? Benarkan ketiganya saling berbeda substansinya, sehingga tidak bisa dihubungkan dalam satu diskursus seperti ini? Mari kita coba mengkajinya.
Pandemi adalah istilah dalam dunia kesehatan untuk menunjukkan adanya peristiwa atau keadaan yang luar biasa, besar, dan massal. Merujuk kepada definisi organisasi kesehatan dunia (WHO), pihak yang outoritatif menetapkan status darurat kesehatan, Pandemi bermakna keadaan yang mewabah, dimana terjadinya penularan suatu penyakit secara serempak kepada banyak orang, di banyak tempat, di berbagai negara dan benua. Istilah pandemi menjadi populer ketika ditetapkan oleh WHO sebagai status penyebaran wabah virus corona atau covid 19 yang sudah tersebar di ratusan negara di dunia, termasuk Indonesia.
Sementara Ibadah Ramadhan adalah serangkaian amaliah yang dilakukan pada bulan ramadhan, mulai dari Puasa di siang hari, salat taraweh dan qiyamullail di malam hari, tadarrus al-qur`an, zakat, infaq, sedeqah, hinggalah Iduf fitri sebagai ibadah puncaknya. Intinya, Ibadah Ramadhan adalah amaliah-amaliah yang dikerjakan dan diamalkan sepanjang bulan ramadhan, yang dipercayai sebagai wasilah meraih keberkahan dan ketakwaan seseorang di bulan Ramadhan.
Lalu, apa itu konteks? Konteks adalah lawan dari teks. Jika teks adalah sesuatu yang nampak jelas, tertulis, tersirat. Maka konteks adalah kebalikannya. Sederhananya, konteks adalah situasi dan kondisi yang menyertai teks. Dalam perspektif komunikasi, konteks adalah keadaan yang menyertai dalam suatu proses komunikasi, baik internal (psikologi) maupun eksternal (waktu dan tempat).
Pandemi wabah Covid 19, dan kehadiran bulan ramadhan dengan berbagai berbagai amaliah dan keberkahan di dalamnya, adalah satu kesatuan yang harus kita fahami. Keduanya ada dalam realitas yang sama-reaitas kita hari ini. Keduanya berlangsung dalam rentang waktu, tempat dan situasi yang sama, hari ini, saat ini, di hadapan kita. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Itulah realitas kontekstual. Situasi dan kondisi yang sedang kita alami.
Sebuah realitas konteks, Pandemi wabah virus yang terus menyebar tak terkendali adalah ancaman terhadap keselamatan jiwa kita. Karena itu adalah kewajiban kita semua menghindari wabah tersebut dengan mengikuti himbauan pemerintah (umara dan ulama). Kemestian kita semua menjaga jarak dalam bekomunikasi, mengurangi aktivitas di luar rumah, menjauhi kerumunan banyak orang. Termasuklah dalam kegiatan keagamaan, shalat berjamaah di masjid sebaiknya ditiadakan, jum`atan untuk sementara waktu boleh diganti dengan shalat zuhur di rumah, teraweh dan tadarusan cukup dilakukan di rumah saja, berjamaah bengan anggota keluarga inti. Semua itu dilakukan untuk ikut serta memutus mata rantai penularan wabah virus tersebut.
Begitupun dengan ramadhan dengan segala amaliah dan keberkahan di dalamnya juga merupakan sebuah realitas kontekstual yang ada di hadapan kita. Puasa di siang hari, shalat taraweh dan tadarrusan al-qur`an di malam hari, qiyamul lail dan sebagainya adalah realitas kontekstual ramadhan. Bahkan semangat keagamaan umat, melakukan ibadah sunnah ramadhan di mesjid, taraweh, tadarrus dan i`tikaf di masjid adalah realitas konteks berikutnya dalam bulan ramadhan.
Lantas, bagaimana kita mesti memahami semua realitas ini dalam satu konteks pesan dan komunikasi yang baik dan efektif. Pemahaman terhadap konteks akan mampu mengantarkan kita menjadi diri manusia, atau individu muslim yang baik dan maslahat. Individu yang mampu melaksanakan amaliah ramadhan dengan keutamaan dan keberkahan di dalamnya, tapi juga tidak mengabaikan kepentingan umum dan keselamatan umat di tengah situasi pandemi. Individu yang mampu menjalankan semua perintah agama (perintah Allah dan rasulnya) dengan penuh keimanan dan keilkhlasan, juga mampu mentaati himbauan pemerintah (umara` dan ulama) untuk bersama-sama memutus mata rantai penularan wabah covid 19.
Disinilah konteks mesti difahami, bahwa berburu manfaat dan keberkahan ramadhan itu penting, melaksanakan semua amaliah ramadhan dengan baik dan maksimal sebagai sebuah kesempatan, tapi jika dalam pelaksanaannya justru memungkinkan terjadinya kemudaratan, maka menghindari kemudatan harus diutamakan. Inilah konteks kaidah ushul “Dar ul mafaasid muqaddam ala jalbil mashalih”. Menghindari kemudaratan mesti lebih diutamakan daripada mengejar kemaslahatan.
Prinsipnya, agama mengajarkan kepada kita untuk memelihara keselamatan, baik keselamatan diri, keselamatan alam, keselamatan lingkungan, dan keselamatan sesama manusia (orang lain). Karena itulah Nabi Saw pernah bersabda, “La dharar wala dhiraar”, janganlah membawa kemudaratan untuk diri sendiri, dan jangan pula untuk kemudaratan orang lain.
Karena itu, beribadah di bulan ramadhan di tengah suasana pandemi yang sedang kita hadapi, mesti memperhatikan aturan-aturan keselamatan diri dan orang lain, sebagaimana himbauan pemerintah. Melaksanakan semua ibadah Ramadhan di rumah, bersama keluarga inti di rumah lebih utama untuk kita yang berada di kawasan pandemi zone merah. Jikapun ada sebagian kita yang harus beribadah ramadhan ke mesjid (terutama untuk zona hijau), itupun mesti memperhatikan aturan keselamatan diri dan orang lain. “Kebaikan itu banyak, keutamaan itu ada di mana-mana. Bukan hanya di masjid, tapi di persada bumi ini. Jika semua kebaikan itu bisa kita lakukan dengan baik dan benar karena mengharapkan ridha Allah, maka akan ada ganjaran pahala di sisi-Nya”. Demikian petuah Qurash Shihah dalam program Shihah dan Shihah.
Dengan pemahaman yang baik terhadap konteksnya, maka kehadiran ramadhan di tengah suasana pandemi ini justru akan menyempurnakan amaliah kita di hadapan Allah Swt. Amaliah yang bukan saja dalam tataran hubungan vertikal kita kepada Allah (hablumminallah), melainkan juga amaliah dalam tataran hubungan sosial kemanusiaan (hablumminnas). Dengan pemahaman konteks yang benar, kita tidak hanya akan menjadi individu yang baik dalam ibadah, melainkan juga individu yang peduli dalam kebaikan sosial (kesalehan sosial).