Syubbanul Yaum Rijalul Ghad dalam Proyek Evolutif Pemahaman Agama

Oleh: Ach Tijani

Dosen Studi Agama-agama FUAD IAIN Pontianak

Teknologi boleh saja melambung tanpa batas dan Ilmu pengetahuan berkembang tanpa batas (borderless). Tetapi tidak dapat kehidupan ini diserahkan pada ilmu dan teknologi. Kesiapan manusia harus dihadirkan untuk berhadap-hadapan dengan buah karyanya sendiri. Jika berhasil, maka manusia dan kemanusiannya akan tetap eksis dan konstruktif.

Problemnya adalah bagaimana manusia dapat beinterkasi konstruktif dengan teknologi. How do the Human to interact with technology effectively?.

Berhadapan dengan kedigdayaan teknologi bukan berarti harus memusuhi atau lari dari teknologi. Pemuda muslim ke depan harus hadir di tengah-tengah teknologi tidak sekedar jadi pengguna (as user) tetapi harus menjadi bagian yang berpartisipasi (as participant).

Namun tentu bukan hal yang mudah untuk sampai menjadi partisipator yang konstruktif. Dasar pandangan, pemahaman, otoritas dan rujuakam keagamaan (religious preferences) menjadi tantangan tersendiri sebelum kemudian berhadapan langsung dengan ilmu dan teknologi. Harus ada perubahan bahkan bisa jadi sampai pada tahapan yang evolutif.

Misalnya saja, pandangan tentang kitab suci harus benar-benar berubah dari sebelumnya termasuk tujuan peruntukannya. Kitab suci tidak selalu ditafsirkan sakral yang malulu ditafsirkan untuk menyelesaikan penyempurnaan nilai ibadah (obligatory values), tetapi harus diturunkan dan dikonfirmasi sebagai sumber pengembangan ilmu dan kehdiupan sosial (knowledge resources and social life development).

Wajah studi keislaman tidak lagi harus dimulai dari thoharah, sholat haji dll. Tetapi barangkali bisa jadi dimulai dengan cara menggunakan sosial media dan penggunaan google. Kajian-kajian tersebut tidak harus seragam, tetapi barangkali banyak ditentukan oleh kebutuhan mendesak yang harus diselesaikan di tengah-tengah masyarakat muslim itu sendiri.

Begitu juga persoalan pendidikan anak untuk usia dini barangkali juga tidak harus seragam. Perlu ada permulaan yang berbeda dan evolutif untuk benar-benar menghadirkan anak-anak hari ini menjadi tokoh di masa yang akan datang. Pilihannya barangkali tidak harus dimulai dari Tahfidz Quran yang saat ini begitu sangat populer di tengah masyarakat muslim. Sehingga banyak anak-anak usia dini sudah dsetreskan dengan hapalan yang menumpuk, di sisi yang lain terdapat orang tua yang depresi gara-gara anaknya tidak hafal Quran di usia dini. Padahal belum tentu itu yang akan dibutuhkan mereka di masa yang akan datang.

Kalau begitu, apakah menghafal Al-Quran menjadi tidak penting?. Problemnya bukan persoalan penting dan tidak penting, tetapi mungkinkah kita memilih pilihan yang berbeda untuk tujuan yang mungkin sangat tepat untuk kepentingan mereka?.

Melihat fenomena ketertinggalan umat Islam dalam bidang Iptek . Kenapa kita tidak mencoba merevolusi titik tolak dari pendidikan anak-anak kita, dari penguatan skill inquiry pada penguasaan amalan keagamaan. Begitu juga dalam kebutuhan sosial, dari budaya dulu baru pada pendidikan agama. Sehingga pemuda-pemuda yang akan datang tampil lebih percaya diri dengan penguasaan iptek yang kuat serta dapat menghargai beragam perbedaan sosial tapi juga kokoh dalam beragama.

Shubbanul Yaum Rijalul Ghad. Pemuda hari ini adalah tokoh harapan di masa yang akan datang.

Similar Posts