IAIN MENAKAR CALON “NAKHODA” Oleh : Eka Hendry Ar *

IAIN pontianak sedang menyenggarakan seleksi calon Rektor periode 2022-2026. Kalau tidak keliru, saat tulisan ini dibuat saat masa-masa pendaftaran. Tulisan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Panitia maupun sebagai Tim Sukses dari para kandidat. Ini semata sebagai bagian kecil kontribusi penulis untuk kebesaran lembaga.

Sebagai warga kampus IAIN Pontianak, kiranya perlu ada yang menyumbangkan buah pikiran. Terutama dalam momentum krusial yang terjadi 4 tahunan. Karena bagaimanapun kita menaruh banyak harapan terhadap “rumah” bersama ini. Lembaga PT Keislaman yang menjadi kebanggaan dan sekaligus tulang punggung penyebaran Islam di Kalimantan Barat.

Sedikit refleksi bahwa, dalam kurun waktu lebih 5 dasawarsa, semenjak Yayasan Sadar, lembaga ini telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk. Yayasan Sadar yang diketuai oleh A. Muin Sanusi (Walikota Pontianak) pada Juli 1965 mendirikan Fakultas Tarbiyah di Pontianak. Tahum 1969, bersama Fakultas Ushuludin Singkawang statusnya dinegerikan fillial IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kurang lebih 15 tahun kemudian (11 Maret 1997) berubah menjadi Sekolah tinggi Agama Islam (STAIN). Semenjak tahun 2013 naik statusnya menjadi IAIN. Meskipun relatif lama proses perubahan tersebut, dibandingkan PTKIN di wilayah Jawa dan Sumatera, tapi tidak mengecilkan makna perjuangan dan keberadaan kini.

Bertahun-tahun upaya memperjuangkan perubahan bentuk dari STAIN ke IAIN. Boleh dikatakan ikhtiar tungkus lumus, dan membutuhkan setidaknya 2 priode kepemimpinan. Kini kita telah menikmati 9 tahun menjadi IAIN, dengan perkembangan yang cukup signifikan. Sarana prasarana yang jauh lebih mentereng dibandingkan saat penulis kuliah tahun 90-an.

Pertambahan jumlah SDM dosen dan tenaga kependidikan, barangkali naik lebih dari 300 an persen, setidaknya dalam 3 dasawarsa ini. Belum lagi pengembangan jumlah Fakultas, Program Studi dan Program Pascasarjana. Kemudian pertambahan jumlah mahasiswa yang luar biasa signifikan. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa IAIN Pontianak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang membanggakan.

Seiring dengan perkembangan yang telah dicapai, ekspektasi juga semakin besar. Baik ekspektasi internal dari kalangan civitas akademika maupun eksternal masyarakat luas. Hal yang paling menjadi perhatian civitas akademika adalah semakin memadai sarana prasarana pendukung perkuliahan, hendaknya diikuti dengan tata kelola kelembaan secara lebih baik. Dosen dan karyawan berharap mendapatkan pelayanan yang lebih baik, baik dalam bidang akademik, administratif maupun tata pamong. Kenyamanan bekerja, rasa aman, dan iklim kompetisi yang sehat selalu menjadi idaman.

Terlebih lagi mahasiswa, mereka adalah customer pertama dan utama. Orang tua mereka mempercayakan putra putrinya kepada IAIN Pontianak. Mereka mengantungkan harapan, di IAIN putra putri mereka mendapatkan asupan pendidikan, pengajaran dan pengasuhan yang baik dan berkualitas. Pilihan kepada IAIN, adalah pilihan dengan kesadaran plus bahwa IAIN tidak sekedar memberikan pengetahuan, akan tetapi juga bekal ilmu agama dan akhlak Islami.

Hal ini menjadi tantangan serius bagi IAIN Pontianak. Apakah IAIN dapat memastikan para mahasiswa mendapatkan fasilitas perkuliahan yang representatif. Para dosen yang berkualitas. Perkuliahan yang dikelola secara profesional. Kemudian layanan akademik dan administratif yang cepat dan efektif serta humanis. Termasuk ekspektasi orang tua, agar anaknya mengerti agama dan berakhlak mulia.

Dengan semakin meningkat kualifikasi para dosen seyogyanya berdampak pula terhadap kepuasan mahasiswa dalam mendapatkan pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan. Karena dosen berkualitas, maka hendaknya dapat mengkatrol kualitas mahasiswa pula. Bagaimanapun, mahasiswa adalah tolak ukur keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan PT.

Kemudian di sisi lain, publik juga menaruh ekspektasi yang besar kepada IAIN Pontianak. Publik lebih menyoroti performa fisik kampus IAIN. Berdasarkan tampak fisik IAIN, publik menilai sudah saatnya IAIN pontianak menjadi UIN. Untuk menuju UIN, lahan kampus yang ada sekarang sudah tidak lagi memadai. Oleh karenanya, IAIN harus segera mengupayakan ketersediaan kampus 2. Hal yang sama juga diimpikan oleh Civitas Akademika.

Upaya menjadi UIN tergantung kepada kesungguhan kita semua dalam mempersiapkannya. Terutama dalam merencanakan fondasi ke arah UIN. Seperti mempersiapkan Prodi menjadi calon Fakultas Umum. Seperti Prodi Matematika, Prodi IPA dipersiapkan untik MIPA. Prodi SAA, Sosiologi Agama dan Politik Islam misalnya sebagai cikal bakal FISIPOL. Prodi Psikologi Islam cikal bakal Fak. Psikologi.

Kesungguhan ini juga harus tampak dalam perencanaan penambahan tenaga dosen berdasarkan proyeksi kebutuhan prodi yang akan dibuka. Perencanaan pembukaan Prodi harus berdasarkan pada visi pengembangan Fakultas yang akan dirintis. Bukan asal sekedar membuka Prodi, yang ujung-ujungnya seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Kemudian hal yang juga krusial adalah dukungan budgeting, yang harus direncanakan selaras dengan kebutuhan pengembangan lembaga. Skala prioritas harus dibuat, agar tujuan utama tidak “dikacaukan” dengan kebijakan yang by accident.

Menginggat tidak mudah tantangan dan besarnya ekspektasi baik dari internal maupun pihak eksternal kampus, maka diperlukan seorang “nakhoda” yang tidak hanya sekedar mau, akan tetapi juga berkemampuan untuk mewujudkan harapan-harapan besar tersebut.

“Nakhoda” yang diharapkan setidaknya memiliki kapasitas sebagai berikut:

Pertama, memiliki otoritas keilmuan yang mumpuni, karena ia akan memimpin komunitas intelektual. Kampus adalah habitat dari pikiran, keilmuan dan riset, bagaimana mungkin seorang nakhoda tidak memiliki karakter yang merepresentasikan mileu tempat ia memimpin.

Kedua, harus memiliki kemampuan leadership (kepemimpinan) dan kemampuan manajerial yang baik. Kepemimpinan tentu saja di asah melalui pengalaman, dan kaderisasi kepemimpinan di IAIN Pontianak. Tidak mungkin seorang pemimpin lahir secara serta merta tanpa segudang pengalaman kepemimpinan, dari level paling ujung tombak (Prodi) hingga level di atasnya. Kemudian dalam konteks kepemimpinan juga diperlukan pemimpin dengan watak egaliter dan demokratis, menginggat yang dipimpin adalah para cerdik pandai yang nalar dan kekeritisannya perlu dipelihara. Merawat dan lapang dada terhadap kekritisan dimaksudkan agar mekanisme check and balance tetap ada. Tentu ini semua dalam rangka mencapai kemajuan yang dicita-citakan bersama.

Ketiga, memiliki kehendak kuat untuk membesarkan lembaga yang ditopang dengan visi yang jelas, rencana strategis yang dapat diejawantahkan ke dalam program yang Jelas, terukur dan realistis untuk dicapai. Kalau visi, renstra, program tidak terorkestrasi dengan baik, sudah pasti lembaga akan berjalan “sepanjang ingatan” alias suka-suka.

Keempat, dapat menjadi tauladan atau role model dalam hal pikiran, kebijakan, sikap dan prilaku bagi yang lain. Hal ini penting sebagai pra syarat conditio sin quanon untuk membangun kepercayaan (trust), loyalitas dan solidaritas di antara civitas akademika. Kalau komponen ini dapat terejawantahkan oleh siapapun yang memimpin kelak, maka setidaknya kita sudah punya modal untuk menapak kemajuan. Jamak dijumpai, konflik internal yang tidak mampu dikelola dengan baik, akhirnya menghabiskan energi, sehingga kehilangan kesempatan untuk membesarkan lembaga.

Kelima, memiliki jaringan dan jalinan komukasi yang luas dengan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten dan Kota, Kanwil Agama, Dinas Instansi terkait dan Forkompinda lainnya, maupun Perguruan Tinggi (PT) lainnya, baik dalam maupun luar negeri. Kemampuan komunikasi, “marketing”, dan membangun trust pada stake holder akan berkontribus besar bagi pengembangan IAIN Pontianak.

Kelima kualifikasi ini tentu tidak mutlak pada satu sosok, oleh karenanya siapapun yang terpilih harus dapat membangun tim yang solid. Tim yang saling melengkapi, saling menguatkan, saling menopang satu dengan lainnya, sehingga kelima kualifikasi tersebut bisa diwujudkan.

Pada gilirannya, karena Sistem Pemilihan Rektor yang dianut oleh Kemenag, Menteri Agama punya hak penuh dalam menunjuk Rektor. Maka aspirasi seperti tulisan ini, boleh jadi tidak dipikirkan dan tidak ditimbang. Karena lazimnya pada level ini, nuansa politik lebih dominan ketimbang pertimbangan akademik. Kita hanya berharap antara harapan kita bersambut gayung dengan keputusan politik Jakarta. Dan jika pun tidak, kita hanya berdo’a agar siapapun terpilih kelak adalah seorang yang “diharapkan bumi dan diridhoi langit”.

Sebagai penutup, ini barangkali sebatas saling mengingatkan sebagai saudara dan seaqidah. Bahwasanya kekuasaan adalah amanah dan titipan Allah, oleh karenanya kekuasaan dan kedudukan bukanlah segala-galanya. Jangan terlalu diburu, apakan lagi sampai mengabaikan prinsip beragama, prinsip kemanusiaan dan prinsip persaudaraan. Silakan berikhtiar dalam batas kemampuan masing-masing, selebihnya berserah dirilah kepada Allah SWT.

Semoga IAIN Pontianak terus tumbuh berkembang sebagai zamrud intelektual khatulistiwa. Wa Allah a’lam bi shawab.

*Dosen IAIN pontianak.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *