Persiapan, Kebersamaan, dan Makna Sosial: Pandangan Prof. Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag tentang Bulan Ramadhan
Pontianak (fuad.iainptk.ac.id) – Prof. Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag memberikan pandangan mendalam tentang bulan Ramadhan, menekankan bahwa kewajiban berpuasa tidak hanya dimulai pada bulan Ramadhan, tetapi persiapannya dilakukan sejak bulan Sya’ban. Menurut beliau, Sya’ban adalah pintu gerbang menuju Ramadhan, dan Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum wajibnya puasa, yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 183, sebenarnya turun bukan pada bulan Ramadhan, melainkan pada tanggal 10 Sya’ban. Ini menunjukkan bahwa terdapat jeda 20 hari sebelum pelaksanaan puasa agar umat Islam dapat mempersiapkan diri, baik secara mental maupun kesehatan lahir dan batin.
Pentingnya Dukungan Keluarga dalam Berpuasa
Prof. Wajidi menekankan bahwa dalam mengawali ibadah puasa, kondisi keluarga harus dijaga. Dukungan keluarga sangat berpengaruh dalam kesuksesan ibadah puasa. Beliau mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizi: “Siapa yang hidup kalian pada waktu pagi dalam keadaan aman di lingkungannya, sehat jasadnya, dan kebutuhan pokoknya terpenuhi, maka seolah-olah dunia itu ada dalam genggamannya.” Ini menunjukkan bahwa selain kesiapan mental, berpuasa juga harus diiringi dengan ilmu tentang puasa itu sendiri.
Keterkaitan Puasa dengan Ibadah Lain
Menurut Prof. Wajidi, ibadah puasa bukanlah ibadah yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari rangkaian ibadah lainnya. Misalnya, perintah untuk menghadap arah kiblat turun hanya empat hari sebelum perintah berpuasa dan juga terjadi pada bulan Sya’ban. Puasa juga tidak bisa dipisahkan dari shalat, seperti halnya shalat Tarawih yang hanya ada di bulan Ramadhan.
Selain itu, ibadah puasa juga erat kaitannya dengan ibadah sosial, seperti zakat fitrah yang wajib dikeluarkan pada bulan Ramadhan. Menurut beliau, hakikat puasa adalah mengasah hati, jiwa, dan pikiran, yang berdampak pada meningkatnya solidaritas sosial. Shalat Tarawih yang dilakukan secara berjamaah juga memperkuat rasa kebersamaan, bahkan bagi wanita yang tidak disunnahkan untuk ke masjid di luar Ramadhan, pada shalat Tarawih justru dianjurkan untuk berjamaah.
Momentum Kebersamaan dalam Ramadhan
Prof. Wajidi juga menyoroti pentingnya kebersamaan dalam Ramadhan, yang berpuncak pada perayaan Idul Fitri. Bahkan, wanita yang sedang haid pun dianjurkan untuk turut serta meramaikan tempat shalat Id meskipun tidak ikut shalat. Hal ini menunjukkan bahwa kegembiraan dalam merayakan akhir Ramadhan harus dinikmati bersama, bukan secara individual.
Keutamaan Sahur dan Kebersamaan Keluarga dalam Puasa
Dalam konteks kehidupan keluarga, Prof. Wajidi mengutip surah Al-Baqarah ayat 187 yang menjelaskan tentang kehalalan hubungan suami istri pada malam hari saat berpuasa. Ayat ini juga menekankan pentingnya makan sahur dan berbuka bersama keluarga sebagai wujud kebersamaan dalam menjalankan ibadah. Al-Qur’an menunjukkan bahwa puasa tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berkaitan dengan kehidupan keluarga. Dukungan keluarga dalam berpuasa akan meningkatkan semangat ibadah.
Sebagai penutup, Prof. Wajidi menegaskan bahwa puasa meningkatkan ketakwaan, yang tidak hanya berarti hubungan dengan Allah, tetapi juga meliputi aspek sosial, moral, dan kehidupan rumah tangga.
Penulis : Asip
Editor : Acip doang