Cerdas Berpikir Versus Cerdas Buatan

 Deskripsi dan argumentasi berikut adalah kebimbangan penulis sebagai pendidik, orang tua dan masyarakat tentang maraknya  perkembangan teknologi pendamping belajar yang semakin kesini semakin memudahkan tetapi menurunkan kecerdasan berpikir analisis-kritis pelajar bahkan juga pendidik. Karena sudah banyak bermunculan aplikasi gratis maupun berbayar yang membantu guru membuat RPP tanpa ribet. Kecanggihan teknologi memang tidak dapat kita pungkiri memberikan banyak kemudahan juga kesempatan yang sama bagi siapapun. Jarak tidak lagi penghalang  untuk bisa belajar ke negeri seberang yang mungkin hanya pernah dilihat di peta, didengar/ditonton melalui media elektronik atau media sosial. Zaman now bermodal gawai, laptop dan perangkat teknologi yang canggih plus internet maksimal, apapun dalam genggaman.

Masalahnya adalah kemudahan-kemudahan tersebut ternyata memberikan efek tidak baik bagi para pencari ilmu. Jika dulu di tahun 2000-an (masa penulis menempuh strata satu), plagiasi tidak tampak karena memang  bisa diakali kecuali guru atau dosen membaca dengan teliti dan memiliki gudang referensi sehingga dapat melihat mana plagiat, mana kutipan langsung atau tidak langsung. Namun sejak teknologi digital semakin canggih, bermunculan aplikasi untuk meminimalisir bahkan menghilangkan redaksi plagiasi. Namun jika dibaca seksama, penulisan menggunakan chat gpt (misalnya) terasa kurang bermakna, karena aplikasi ini walaupun “pintar”, tetapi tidak dapat membedakan opini dan fakta. Kebablasan menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) dalam dunia pendidikan bukan hanya membangun budaya kebodohan serta kemiskinan intelektual, tetapi merusak makna pendidikan itu sendiri.

Cerdas Berpikir

Sesuai dengan UU RI Nomor 20 tahun 2003 dijelaskan definisi  peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Definisi tersebut jika dikaji sifat dan tujuannya tergambar jelas bahwa anak bangsa harus dididik sesuai usia tahap kembangnya agar potensi yang ada dapat  bermanfaat untuk diri dan juga lingkungannya.

Potensi tersebut tentu akan maksimal jika anak didik dibimbing memanfaatkan fasilitas yang ada untuk kemajuan belajarnya. Misalnya, berbagai aplikasi browsing untuk belajar bahasa asing,  mencari jurnal, memahami banyak definisi atau istilah dan update berita.  Aplikasi belajar seperti google scholar, e book, academia juga dapat dengan mudah diakses untuk menambah perbendaharaan atau referensi dalam menulis.

Namun, semakin mudah mengakses dan mendapat berbagai informasi, ternyata menciptakan pola lain agar proses menulis bisa lebih cepat tanpa perlu membaca literatur. Penyakit malas berpikir, enggan bersusah payah menghabiskan waktu membaca kemudian menuliskannya, telah menular dimana-mana. Hal yang jika dibiarkan berlarut-larut maka akan menciptakan generasi minim intelektual dan adab, generasi yang tidak menghargai proses, minim semangat dan lebih menonjolkan sikap keluh kesah. Generasi yang disebut Karl Mannheim gen z,  lahir antara tahun 1994 atau 1995 sampai dengan 2011 atau 2012. Generasi ini agak berbeda dengan generasi sebelumnya, yang lebih cerdas menggunakan dan memanfaatkan teknologi, tetapi memperihatinkan sosialnya, dimana mereka tidak terlalu mempersoalkan ramah tamah dengan orang lain.

Menjadi Kreatif

Sejak membooming AI yang diprediksi juga akan menggantikan peran tenaga manusia, semakin gencar pula gerakan literasi di dunia pendidikan formal dan non formal. Gerakan ini dipercaya mampu meminimalisir kecanduan penggunaan teknologi serta ikut mencerdaskan segala lapisan masyarakat, bahkan kumpulan ibu-ibu di organisasi keagamaan, kemasyarakatan pun ikut tercerdaskan karena dilatih untuk meliterasi diri.

Pada organisasi perempuan  ‘Aisyiyah dari tingkat pusat hingga ranting contohnya di minta untuk membudayakan membaca, mendengar dan menulis sebagai budaya keseharian yang nantinya akan melekat erat pada anak. Ibu cerdas akan juga mencetak kecerdasan intelektual, emosional pada anak-anaknya. Literasi tersebut dapat berbentuk pengajian, kajian ilmu tentang fenomena masyarakat, dan workshop menulis ilmiah yang bisa dilakukan secara daring atau luring.

Penulis : Dr. Amalia Irfani, M.Si

Dosen FUAD IAIN Pontianak

 

 

Similar Posts