Rumusan Kerukunan Antar Agama: Dari Teori ke Aksi
Oleh: Ach Tijani
Dosen Studi Agama-agama FUAD IAIN Pontianak
Kerukunan antar agama tidak selamanya memiliki persoalan yang sangat jelimet. Perekat kerukunan itu bisa jadi justru hadir dari sesuatu yang sangat sederhana, salah satunya dari makanan (food).
Riset sederhana relasi makanan dan kerukunan antar agama telah dilakukan dengan serius oleh Samsul Hidayat, sehingga menghasilkan beberapa argumen yang sangat menarik. Salah satunya, keberhasilan Kota Singkawang mencapai penghargaan sebagai kota paling toleran berangkat dari tradisi pertukaran makanan yang tumbuh mengakar di tengah masyarakat Singkawang.
Tradisi pengalaman kerukunan beragama di Singkawang Indonesia senada dengan kajian yang dilakukan oleh Siti Salwa Md Sawari dari Malaysia. Dalam artikelnya dinyatakan, bahwa kerukunan antar agama tidak akan selesai dengan perdebatan teoritis (therotical discourse) akan tetapi mesti harus dilanjutkan dengan praktik lapangan (practical experiences).
Secara sederhana, belajar dan mengajarkan kerukunan tidak akan selesai dengan membaca buku. Setiap mahasiswa dan siapapun yang nemiliki kepentingan untuk membangun kerukunan, harus datang dan melihat langsung bagaimana agama itu dilakukan. Berkunjung ke beberapa rumah ibadah secara bergantian antar pemeluk agama menjadi langkah awal untuk saling mengenal dan memperkenalkan.
Runtutan teknis membangun kerukunan antar agama dari teoritis ke praktis harus dilakukan dengan kesengajaan dan desain yang terukur. Karena itu studi tentang kerukunan bukan berbicara bagaimana membuat modul kerukunan, tetapi kerukunan bergama itu harus ada dan tersisipkan pada setiap mata pelajaran (subject) secara integral.
Muhammad Ilyas dari University of Liverpool at Singapore berbicara persoalan kerukunan dikaitkan dengan situasi dan wacana global. Saat ini secara global Islam diidentikkan dengan teroris dan radikalisme. Wacana-wacana tersebut adalah wacana global yang tidak berarti setiap muslim benar-benar demikian. Perlu kajian moderasi, kebebasan dan melokalisir Islam dengan kembali merujuk pada potensi lokal yang dimiliki. Masukan utamanya hampir sama dengan Siti Salwa, bahwa penggalian potensi lokal itu harus dimulai dari institusi pendidikan. Hal yang perlu disisipkan dari institusi pendidikan adalah menanamkan mindset lokal.
Jalan merajut kerukunan ke depan secara optimis tidak akan mendapatkan jalan terjal, mengingat kerukunan itu sendiri sejatinya adalah puncak visi dari setiap agama. Argumen ini disampaikan optimis oleh Le Ngoc Bich Ly dari Thailand. Optimisme ini tentu menguatkan setiap pemerhati kerukunan untuk terus maju dan melakukan inovasi serta adaptasi dengan berbagai kearifan lokal.