Al-Ma’wujud, Merawat Tradisi Mengukuhkan Identitas Diri
Pukulan gendang melayu menyeruak. Lantunan syair fasal fimis menyelip meningkahi irama. Mengisi sunyi kampung nun di Sambas sana. Zikir yang memasuki relung hati warga, melanjutkan tradisi, dan mengukuhkan identitas diri anggota.
~
Malam itu, beberapa bulan sebelum pandemic covid-19, rumah Pak Muraidi di kampung Jawai Selatan, Sambas, ramai. Sejak pukul 7 sudah puluhan warga berkumpul di sana.
Sejumlah motor parkir di depan rumah. Di depan pintu, puluhan pasang sandal tergeletak.
Malam itu warga yang tergabung dalam kelompok dzikir Al-ma’wujud Semperiuk B sedang latihan rutin. Latihan membaca syair yang berisi dzikir dan pukulan gendang.
Kelompok ini terdiri dari 13 orang anggota tetap; 7 laki-laki dan 6 perempuan. Sedangkan anggota tambahan, terdiri dari penonton, beberapa orang tua dan anak-anak, yang jumlahnya menjadi puluhan orang.
Kegiatan dzikir ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, sekitar 20 tahun. Pak Suhaimi (58 tahun) salah satu anggota pertama kelompok dzikir yang ditemui bulan Mei 2020 lalu mengatakan kelompok ini sudah ada sejak tahun 2000.
“Kelompok ini sudah lama adanya. Dulu ketuanya ayah saya, Hairi Bujang. Saya lupa kapan dibentuk. Kalau tidak salah, ya tahun 2000-an gitulah,” katanya.
Pak Hairi Bujang yang sudah sepuh itu, sekarang menjadi penonton kalau kegiatan dilaksanakan di rumahnya. Beliau masih awas menyimak pembacaan senandung syair dan pukulan gendang.
“Beliau membenarkan fasal yang disenandungkan, jika anggota latihan di rumah beliau,” tambah Pak Suhaimi.
Meskipun namanya dzikir, tetapi zikir ini berbeda dari zikir yang umum. Kalau zikir pada umumnya sangat formal dan bahkan sakral, zikir ini malah santai. Kesannya, lebih pada group seni Islam.
Saat latihan pada malam Minggu pertengahan Juni 2020 di rumah Pak Muraidi, yang saya saksikan, suasananya memang seperti pertunjukan seni. Seni budaya Melayu-Islam.
Peserta, terutama dari kalangan perempuan, berlatih membaca fasal, dengan senandung syair berbahasa Arab. Mereka menggunakan pengeras suara. Sedangkan peserta lelaki menabuh gendang yang cukup besar, tamborin dan marakas.
Meski sudah bertahun-tahun kelompok dzikir Al-ma’wujud tetap menjaga ciri khasnya seperti ketukan dzikir yang sedari dulu tidak berubah adapun ketukannya ialah Surung Dayung dan Tandak. Kedua ketukan itu hanya berbeda ketukan induknya. Yang mana ketukan Surung Dayung diawali dengan 4 dung (pukul di tengah) dan 4 Cang (pukul di tepi). Sedangkan ketukan Tandak diawali dengan ketukan induk 2 dung, 2 Cang.
Sida (46 tahun) mempunyai pandangan tersendiri tentang nada itu. “Saya lebih senang ketukan baru, yang dangdut. Sebab nadanya menggembirakan jadi membuat semangat”.
Ada beberapa fasal yang sering dibawakan oleh kelompok dzikir ini seperti palakam, fimis, ta’alam, dan habibun. Meskipun terdengar seperti bahasa lokal (Melayu Sambas) namun nama-nama fasal itu sebenarnya dari bahasa Arab, tepatnya diambil dari awal kata bagian fasal itu.
Fasal itu dibaca dalam dua versi. Versi asal tulisan Arab, oleh mereka yang sudah pandai, dan versi transleterasi latin oleh mereka yang baru belajar atau mereka yang kurang pandai membaca Arab. Justru itu, pembacaan teks Arab yang bertulis latin sering membuat bacaan terdengar “khas” Melayu Sambas.
Karena kegiatan ini sering disebut latihan makanya para pembaca fasal tidak merasa malu walaupun ada tersalah baca atau senandung mereka bernada sumbang. Kadang kala ada tarian bebas mengiringi pukulan gendang. Kalau sudah begitu, suasana menjadi riuh oleh tertawa. Mereka menertawakan dirinya dan temannya. Suasana ini membuat suasana lebih asyik sehingga latihan bisa lama — dari setelah Isya hingga menjelang tengah malam. Dan, suasana seperti ini terus terjaga selama 20 tahun.
Para peserta juga merasa nyaman karena kegiatan dilaksanakan di rumah mereka, berpindah dari satu rumah anggota ke rumah anggota yang lain.
Peserta yang mendapat giliran menjadi tuan rumah, mengaku sangat senang menjamu anggota dzikir. Rumah mereka menjadi meriah.
Soal jamuan, tuan rumah menyambut tamu dengan air kopi dan kue. Seperti yang terlihat malam itu, kue yang disajikan hanya roti gepeng. Murah meriah.
Sejumlah peserta mengatakan mereka mengikuti latihan dzikir ini merupakan bentuk kecintaan pada seni Islam itu. Mereka terpanggil untuk menjaga tradisi itu, sebab tradisi itu mengingatkan mereka sebagai orang Melayu.
Lagi pula dzikir ini merupakan bagian penting dalam budaya Melayu mereka. Setiap perayaan peringatan maulid nabi Muhammad dan hari pernikahan, kelompok dzikir ini diundang khusus dan ditugaskan untuk membaca dizikir ini. Mereka bersama undangan membaca dzikir ini saat mereka duduk di tarup (tenda) sebelum perarakan pengantin.
Mereka melihat identitas itu penting bagi mereka sebagai orang Melayu Sambas.
Oleh: Khatijah